May 28, 2016

Senja Kini

Senja kini menjadi saksi atas segalanya,
Senja kini menjadi sendu karenanya,
Senja membawa kehangatan rindu yang tengah menjadi abu

"Aku harap kamu bisa menerimanya, sobat" Pelan, lelaki dihadapannya berusaha menenangkan diri, meski tak tahu apa yang hendak dibicarakan, hanya terdengar helaan napas pelan disana.

"Perempuan memang selalu butuh kepastian dan paling tidak suka digantungkan"
Diam, lelaki dihadapannya mencoba mencerna apa yang dikatakan dan mulai mengerti arah pembicaraan. Namun, keadaannya masih tenang, seperti semula.

"Perempuan mana saja selalu butuh itu, sekali saja kamu terlambat dan terlalu lama menggantungkannya, Ia akan lekas diambil oleh orang lain.."
Lelaki itu masih terdiam dan menunduk. Ia kini tahu betul arah pembicaraan ini, yang ada di pikirannya kini adalah perempuan itu. Perempuan hafidzah, penulis buku, dan baru saja menyelesaikan kuliah fakultas Kedokteran Psikologi, Universitas Sebelas Maret. Perempuan yang kurang lebih tujuh tahun ia gantungkan perasaanya. Tak ada kepastian dari lelaki itu, meski sebenarnya lelaki itu memendam dalam-dalam rasa itu sejak lama, menyimpan rapat-rapat dan akan ia ungkapkan kelak jika  waktu berkehendak.

"Seperti halnya perempuan itu, sobat"
Tepat sasaran lelaki itu. Namun, sikapnya masih tenang, terdiam dan menunduk. Menunggu kata-kata menyayat hati yang akan dilontarkan lagi. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kekecewaan yang amat mendalam.

"Baru saja aku mendapat kabar, bahwa perempuan itu telah dilamar"
Diam, satu, dua detik berlalu. Remuk sekali yang dirasakan lelaki itu. Hancur. Retak. Pupus sudah rencana yang akan dia ambil.

"Dengan siapa?" Lelaki itu berusaha kuat untuk berani menanyakan, lirih sekali, mencoba mengangkat kepalanya pelan, menghadap sahabat didepannya.

"Teman satu fakultasnya, atau lebih tepat teman masa kecilnya"
Remuk, benar-benar remuk. Ia tahu pasti lelaki yang melamar perempuan itu. Dulu, ia pernah bercerita tentangnya, bercerita detil tentangnya, perempuan itu hanya menganggapnya sebagai kawan kecil yang sangat baik.
Kini, lumpuh sudah semua rencananya, rencana yang akan dia lakukan sehari mendatang. Mendatangi rumah perempuan itu, dengan segala kerendahan hati untuk meminta putri yang tengah beranjak dewasa itu, kini pupus sudah keberanian yang ia susun bertahun-tahun terakhir.
Hari ini. Kabar itu. Telak sudah. Hancur sudah.
Sahabatnya mengerti betul apa yang dirasakan lelaki itu

"Sabar, sobat" Sahabatnya menguatkan, merangkul kedamaian pada lelaki itu
"Akan ada yang lebih baik darinya, sob.. Berharaplah hanya pada Allah"
Lelaki itu kencang merangkul sahabatnya. Tak kuasa. Satu tetes bulir air mata mengalir dipipinya

Di lain sisi
Sama halnya dengan perempuan itu, sama remuknya dengan lelaki itu. Perempuan itu diam-diam masih saja menyimpan harapan indah bersama lelaki yang dicintainya itu, masih menyimpan perasaan yang sama seperti tujuh tahun lalu. Meski ia tak tahu , kapan kepastian itu datang kepadanya.
Lalu, bagaimana ia akan menolak lamaran teman masa kecilnya itu? teman seperjuangannya itu? yang telah mencintainya? yang telah memperjuangkannya? dan yang telah memberi kepastian padanya?

Kini,
perempuan itu bimbang atas perasaanya
dan istikharah itu satu-satunya jalan 

2 komentar:

 
Copyright © . Daffa's Journal - Posts · Comments
Daffa Najati -Mahasiswi Ilmu Komunikasi ·